Anakku Tidak Bodoh, Hanya Unik
“Assalamu’alaikum!”
Aku menoleh ke pintu, Putriku berdiri di depan
pintu, sedang membuka sepatu. “Waalaikum salam,” jawabku sambil melirik
ke arah jam dinding.
“Kenapa sudah pulang, Mbak? Gurunya rapat?” tanyaku heran.
Bibir Nora mengerucut dan menggeleng. “Enggak, Ma.
Nora disuruh pulang. Nganterin ini.” Sebuah surat dikeluarkan Nora dari
dalam tasnya dan memberikannya padaku.
Walaupun belum membuka surat itu, Aku sudah tahu,
Nora pasti berbuat sesuatu yang kurang berkenan lagi di sekolah. Tapi
gadisku yang sudah duduk di kelas 3 SMU itu cuek saja. Setelah
memberikan surat, ia langsung ngeloyor masuk kamar. Tak lama berselang,
suara musik berdentam-dentam terdengar membahana dari kamar Nora.
“Mbak Noraaaa, suaranya dikecilin dikit!” teriakku sambil duduk dan membaca surat.
Tak ada jawaban, Hanya kini volume suara musik
sudah jauh lebih bersahabat dengan telingaku. Aku menghela nafas
panjang. Bersiap menerima satu lagi masalah baru dari Nora.
Di sekolah yang baru, aku berusaha menjelaskan
keunikan Nora pada Kepala Sekolah. Kuminta mereka selalu mengabariku
kalau Nora berbuat sesuatu yang aneh. Paling tidak, Nora selalu
mendengarkan aku. Aku tak mau Nora harus pindah sekolah lagi, mengingat
sebentar lagi dia akan ujian akhir dan mempersiapkan diri untuk kuliah.
Sedikitpun aku tak berani bertanya dia ingin kuliah apa karena untuk
sampai ujian akhir saja aku harus terus menerus memonitornya.
Hanya dalam beberapa minggu Nora kembali membuat
masalah di sekolahnya yang baru. Menurut wali kelas, ia suka sekali
mengobrol di kelas. Membuat dia dipaksa duduk sendirian di pojok depan
agar tak bisa mengobrol lagi. Tapi malah membuat anakku itu melamun
sendiri, menggambar atau malah tertidur pulas sepanjang pelajaran.
Beberapa kali gurunya marah sampai melaporkannya pada Kepala Sekolah,
yang lalu memanggilku untuk mencari solusi. Tetap saja tak ada
perubahan. Akhirnya wali kelasnya lebih suka membiarkan. Waktu aku
menanyakannya, Nora bilang dia merasa bosan dan mengantuk.
Itu belum seberapa. Tak lama berselang sebuah surat
kembali dilayangkan. Kali ini karena Nora menulis seluruh catatan
pelajarannya dengan pulpen berwarna-warni. Merah, kuning, hijau, biru
bahkan pink menghiasi seluruh buku-buku tulisnya. Yang makin membuat
guru-gurunya geram adalah berbagai gambar berpola hati atau bunga di
atas setiap lembaran dengan kata-kata diukir secantik mungkin seperti
sebuah buku puisi. Padahal itu adalah buku tulis berisi
pelajaran-pelajaran penting.
Ketika aku bertanya, kenapa ia melakukannya. Ia
malah berkata sambil tertawa. “Tapi bagus kan, Ma?” Dan jawaban itu
membuatku hanya bisa menghela nafas, menahan marah. Saat kuadukan pada
Ayahnya, si Ayah malah bertanya kenapa tak ada warna jingga di buku itu.
Anak dan Ayah itu malah tertawa-tawa melihat aku mengomel sendiri.
Yang paling membuatku tak bisa lagi berkata apa-apa
ketika Wali Kelasnya menyampaikan tentang masalah Nora di kelas. Hanya
dalam hitungan bulan, Nora sudah diusir keluar dari kelas oleh empat
guru bidang studi. Mereka tak memperbolehkan Nora mengikuti pelajaran
selama mereka mengajar sampai waktu yang tidak terbatas. Dan Nora tak
memberitahuku soal itu. Ketika aku datang ke sekolah, putriku malah
asyik tertawa-tawa di kantin sambil makan gorengan padahal
teman-temannya sedang belajar. Saat malam itu aku membahas masalah itu
bersamanya, dia memintaku tidak usah kuatir karena dia masih bisa
mengikuti ulangan dan ujian. Lemas aku mendengarnya. Lalu untuk apa dia
ke sekolah kalau hanya untuk ikut ujian atau ulangan?
Tapi semua itu berbeda ketika ia sedang kursus.
Prestasi Nora demikian cemerlang di tempat kursus. Ia lulus ujian Toefl
dengan nilai tertinggi, mengikuti berbagai program lomba antar tempat
kursus hingga memenangkannya. Bukan hanya dalam Bahasa Inggris, Ia juga
jago dalam dunia komputer. Dia bahkan pernah memamerkan padaku sebuah
kartun animasi buatannya yang memenangkan sebuah lomba design program.
Kursus-kursus ini juga ide Nora sendiri. Nora juga meminta tambahan
kursus gitar padaku. Aku menyanggupi saja karena aku senang Nora masih
bisa menunjukkan minat pada sesuatu, walaupun aku berharap dia lebih
memperhatikan pelajarannya di sekolah.
Dan ketika raport tengah semester diterima, sesuai
perkiraanku. Nilai-nilai Nora hampir seluruhnya berada di bawah standar
kecuali pelajaran Seni dan Musik. Pelajaran tambahan pilihan Nora. Aku
menangis sedih membayangkan hasil yang akan diperoleh Nora saat ujian
akhir nanti. Impian memiliki seorang putri dengan pekerjaan yang baik
pupus perlahan-lahan. Tapi suamiku justru sebaliknya. Dia malah
memintaku untuk ikut bersamanya memeriksa Nora pada seorang psikiater.
Tujuannya agar aku dan suami sedikit memahami apa yang ada dalam pikiran
Nora.
Dengan rasa penasaran, kami membawa Nora ke
psikiater dan hasil pemeriksaan membuka mata dan hatiku lebar-lebar.
Nora sama sekali tidak bodoh. Gadisku ini hanya tidak suka menghabiskan
waktu dengan sesuatu yang membosankan seperti duduk manis dan belajar.
Apalagi semua pelajaran itu sudah dipahaminya hanya dengan sekali
dengar. Nora lebih suka meliarkan pikirannya untuk membuat sesuatu yang
lebih menarik. Itu yang menyebabkannya suka sekali menggambar, mengobrol
bahkan menulis cerita ketika sedang belajar di kelas. Ia menikmati
‘pengusiran’nya dari kelas dengan melakukan berbagai hal yang
dianggapnya lebih menarik.
Hasil pemeriksaan IQ makin membuat aku dan Ayah
Nora tercengang. Putri kami tergolong jenius karena berada di atas level
rata-rata. Inilah penyebab mendasar kenapa Nora berpikir bahwa
pelajarannya sangat membosankan.
Kami mulai menelaah satu persatu kejadian-kejadian
yang terjadi pada Nora. Dan mulai belajar untuk memahami putri kami
lebih baik. Aku kini mengerti mengapa Nora lebih suka melarikan pikiran
dan tenaganya yang berlebih untuk melakukan sesuatu yang menarik
daripada membaca buku yang sudah dipahaminya luar kepala. Daya imajinasi
Nora memang tinggi dan terkadang mengagumkan. Ini terlihat ketika ia
mendesign program komputer yang dinamis. Mungkin itu pula yang
menyebabkannya sangat suka tempat kursus dibandingkan sekolah, karena di
tempat itu ia memperoleh banyak hal-hal baru setiap hari.
Tulisan Nora dalam berbagai warna itu karena ia
ingin tetap bersemangat untuk membaca pelajaran. Dengan memberi aneka
warna, maka pelajaran membosankan itu bisa lebih menarik untuk dibaca.
Nora sering diusir keluar oleh guru-gurunya karena ia sering mengatai
guru-gurunya ‘bodoh’ kalau sang guru tak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan Nora yang kritikal. Nora tetap percaya diri bisa
menyelesaikan ujian tanpa perlu belajar di dalam kelas karena merasa dia
mampu. Sayangnya, walaupun Nora menguasai pelajaran, nilai-nilainya
tetap dipengaruhi atas dasar senang tidak para guru pada dirinya.
Mengetahui hal itu, aku tak lagi berpikir bagaimana
cara membuat Nora menuruti kemauan guru-gurunya. Tapi berpikir
bagaimana cara agar guru-guru dan sekolahnya bisa menerima keadaan Nora.
Noraku adalah anak yang unik, bukan bodoh.
***
“Jadi itu masalahnya?” ulangku sekali lagi sambil tersenyum pada Pak Guru yang menjadi wali kelas Nora.
Nora kembali menentang salah satu gurunya. Ia
berdebat tentang salah satu formula membuat kalimat dengan guru Bahasa
Inggris, yang berujung dengan kemarahan dan pengusiran. Hanya saja kali
ini guru itu tidak akan mengajar lagi di kelas Nora, sampai Nora meminta
maaf. Saat diminta melakukannya, Nora malah mengatai gurunya sebagai
guru yang bodoh, tapi sombong.
“Pertama saya mohon maaf karena Bapak telah dikatai
seperti itu oleh putri saya. Tapi sungguh, mungkin ini hanya cara Nora
yang salah saat mengungkapkan isi hati. Menurut saya sebaiknya Bapak
melihat kembali apakah yang dikatakan ini Nora ini salah atau benar?”
pintaku perlahan-lahan.
“Tentu saja salah. Saya ini guru, bertahun-tahun
saya kuliah dan menamatkan S1 saya di bidang ini. Bagaimana mungkin bisa
salah?” Pak Guru itu mulai terpancing emosi.
“Pernah mendengar kuis Are you smarter than 5 grader,
Pak? Dari kuis itu telah terbukti bahwa ada banyak sekali orang dewasa
yang tidak bisa menyaingi kemampuan anak-anak kelas lima SD. Kenapa?”
tanyaku tetap dengan nada pelan, sambil tersenyum menenangkan. “Karena
banyak orang dewasa yang melupakan pelajaran-pelajaran dasar. Dan
mungkin itulah yang sedang terjadi pada Bapak. Mungkin bukan kesalahan
yang besar, hanya sedikit misunderstanding. Tapi akan lebih
baik kalau kita mencari dulu siapa yang melakukan kesalahan itu. Kalau
memang benar Nora yang salah, nanti dengan cara begini mungkin Nora bisa
lebih mendengarkan dan menghormati Bapak. Bagaimana?”
Selintas keraguan terlihat di mata guru Nora. Tapi
kemudian ia menatap pada Kepala Sekolah yang hanya diam memperhatikan
sebelum mengangguk pelan. Kepala Sekolah menekan interphone dan memanggil seorang guru lain.
Seorang ibu guru datang, lebih senior dan hampir
seumur dengan Nenek Nora. Setelah mendengar penjelasan Nora dan Pak
Guru, guru itu pun mengerti. Lalu dengan bijaksana ia menjelaskan letak
kesalahan yang sesungguhnya. Nora memang benar, hanya saja penyampaian
Nora yang cepat dan terburu-buru membuat Pak Guru salah paham. Mendengar
itu aku hanya tersenyum maklum, kutendang kaki Nora mengingatkan ketika
seringai muncul di wajah putriku itu untuk tidak membuat gurunya merasa
malu.
Sebelum pulang, aku berbicara empat mata dengan
Kepala Sekolah dan menceritakan semua informasi terbaru tentang putriku.
Tentang penyebab sikap cuek Nora, tentang daya imajinatifnya yang
tinggi, tentang hasil tes Iqnya dan juga tentang penilaian para guru
yang kurang objektif pada putriku. Kuminta dengan segala hormat agar
Kepala Sekolah dan para Guru juga mengubah cara pandang mereka terhadap
kekurangan Nora agar dia bisa mengembangkan dirinya sebaik-baiknya. Nora
adalah mutiara terpendam, bintang yang tak terlihat dan seharusnya
Kepala Sekolah membantuku untuk mengeluarkan potensi putriku
sesungguhnya, bukan membantu para guru menyembunyikannya.
***
“Mama, ini ada surat.”
Aku menghela nafas. “Kali ini apa lagi, Mbak sayang?”
Sebuah senyum terlihat di bibir Nora. “Itu bukan surat panggilan, Ma. Tapi surat undangan.”
“Undangan?” ulangku bingung.
Nora mengangguk. Matanya berkaca-kaca. “Aku
berhasil lulus dengan nilai murni terbaik kedua seluruh Indonesia, Ma.
Tiga hari lagi akan ada acara resmi untuk itu. Ayah dan Mama diundang
sebagai tamu kehormatan untuk mendampingiku menerima penghargaan khusus
dari Departemen Pendidikan Kejuruan.”
Mulutku terbuka, aku bangkit dan memeluk putriku erat-erat. Kuucap syukur berulang kali, berterima kasih pada Allah.
“Ma, Mama tahu nilai apa yang terbaik dalam seluruh ujian akhirku?”
“Apa, Sayang?”
“Bahasa Inggris, Ma. Aku dapat 98 dari keseluruhan
soal dan hanya salah dua. Aku juga dapat tawaran kerja menjadi
sekretaris dan satu lagi adalah tawaran kuliah gratis selama tiga tahun
di sebuah akademi bahasa di Yogya,” jawab putriku dengan mata
berbinar-binar. Mata itu begitu indah bagai bintang.
Nora, bintang di langit
yang cahayanya sering tertutup awan gelap. Tapi di manapun cahaya Nora
takkan pernah berhenti bersinar, dengan caranya sendiri cahaya itu pasti
akan terlihat. Tergantung bagaimana orang lain memandangnya, tergantung
dari mana orang lain melihatnya. Nora tetaplah Nora yang akan selalu
jadi putriku. Orang lain mungkin sulit memahaminya, tapi aku akan selalu
bersama Nora, memahaminya dan selamanya buatku Nora adalah seorang
bintang.
*****
sumber : http://bundaiin.blogdetik.com/2012/09/04/anakku-tidak-bodoh-hanya-unik/*Berdasarkan pengalaman pribadi seseorang. Bintang tertimbun yang bersinar justru ketika sekolahnya akan berakhir.
No comments:
Post a Comment